Dilarang meng-copas! Tolong hargai karya milik orang lain!Jika ingin copas cantumkan alamat blog ane!!!!
Kaki
tua itu tak henti-hentinya berayun. Kesana, kemari , seperti tak mengenal kata
lelah. Tatapan mata itu seakan penuh harapan. Tangannya tak henti memungut satu
demi satu kaleng bekas yang berserakan. Sesekali ia usap keringat yang mengalir
menganak sungai di dahinya. Sungguh heran aku melihatnya. Jika aku jadi dia,
tidak akan aku sanggupi pekerjaan itu. Hidup sebagai seorang mahasiswi jauh
lebih menyenangkan meskipun banyak tugas yang harus dikerjakan.
Nenek
pengumpul barang bekas itu sebenarnya tidak asing lagi di mataku. Setiap pagi
aku melihatnya dengan asyik bergaul dan bergulat dengan sampah-sampah yang
berserakan di sekitar tempat kost ku. Sampah-sampah yang bagi sebagian orang
mungkin sudah tidak berguna lagi. Usaha nenek itu dalam menyambung hidup patut
diacungi jempol. Setidaknya ia tidak semalas penadah tangan di lampu merah.
Kulangkahkan
kakiku sembari sesekali mengarahkan pandanganku ke arah nenek itu. Hatiku
penasaran dan selalu bertanya-tanya. Tidakkah ia mempunyai anak? Mengapa sudah
setua itu harus bekerja keras seperti itu? Namun aku tidak mau pusing dengan
pertanyaan-pertanyaan yang tidak terlalu berpengaruh terhadap hidupku.
Ku
lanjutkan perjalananku menuju kampus yang letaknya tidak terlalu jauh dari
tempat kostku. Kali ini aku percepat langkahku, aku baru menyadari kalau aku
sudah terlambat.
***
Aku
adalah seorang mahasiswi semester 6 di salah satu fakultas kedokteran di
Surabaya. Di sini aku hidup serba berkecukupan. Jika aku perlu uang, aku
tinggal telpon orang tuaku. Aku tidak pernah berpikir mencari pekerjaan
sampingan untuk menambah uang jajanku. Menurutku, pekerjaanku sekarang hanyalah
belajar dan bersenang-senang bersama teman-temanku.
Kedua
orang tuaku bertempat tinggal di Bali. Mereka berdua berprofesi sebagai petani.
Kekuatan finansial orang tuaku sebenarnya tidak cukup untuk menguliahkan aku.
Biaya kuliahku di sini diperoleh dengan berhutang di salah satu bank di Bali.
Entah bagaimana kedua orang tuaku melunasi hutang tersebut, tidak pernah
terlintas di pikiranku untuk memikirkan hal itu.
Kehidupan
sebagai anak kost sudah aku alami selama tiga tahun. Selama itupula aku tidak
pernah balik ke Bali. Menanyakan kabar orang tuaku melalui telepon saja jarang
kulakukan.
***
Keesokan
harinya aku bangun lebih awal. Ku sambut pagi yang cerah dengan senyuman.
Matahari masih menyembunyikan sinarnya di balik pepohonan. Aku segera bersiap
berangkat ke kampus. Kulangkahkan kakiku dengan penuh semangat menuju kampus
yang merupakan surga sekaligus neraka bagiku.
Lagi-lagi
ku lihat nenek itu mengorek-ngorek sampah. Aku sangat jijik melihatnya. Baju
nenek itu sangat kotor dan bau. Dengan sedikit keraguan aku mendekatinya, ku
perhatikan tangannya yang lincah memilah-milah sampah yang ia butuhkan.
Tiba-tiba nenek itu menghentikan
pekerjaannya lalu menoleh ke arahku. Tatapan matanya sangat tajam, seakan menusuk
bola mataku. Matanya yang merah, membuatnya semakin terlihat aneh dan
menyeramkan. Segera aku memalingkan pandanganku. Setengah melirik ke arah nenek
aneh itu, ternyata nenek itu tersenyum kecil melihatku.
“Kamu
masih kuliah?” Tanya nenek itu kepadaku.
“Iya
mbah.” Jawabku sambil tersenyum.
“
Kamu asalnya darimana?” Tanya nenek itu kepadaku lagi.
“Jauh
mbah, dari Bali mbah.”
“Belajar
yang benar, nanti kalau sudah sukses jangan lupa sama orang tua, jangan
ditelantarkan mereka.”
“maksudnya
mbah?” Tanyaku karena sedikit bingung dengan kata-kata yang diucapkan nenek
itu.
Nenek
itu tidak menjawabku. Ia langsung mengalihkan pandangannya pada sampah-sampah
yang ada di depannya. Tangannya melanjutkan pekerjaannya. Aku sedikit heran
melihat tingkah aneh nenek itu. Aku segera berpamitan kepada nenek tersebut dan
bergegas pergi meninggalkannya.
Aku
berjalan menapaki jalan yang sudah mulai dipenuhi dengan daun busuk dan
ranting-ranting yang berserakan. Begitulah keadaan jalan menuju kampusku. Wajahku
masih kebingungan, aku tidak mengerti maksud dari kata-kata yang diucapkan
nenek itu. “Ah sudah lupakan mungkin nenek itu sekedar basa-basi. Dasar orang
tua aneh.”, gumamku.
***
Keesokan
harinya kuawali hariku sama seperti biasa. Cuaca pagi ini juga sama seperti
biasanya. Wajahku masih sangat kusut, tak seulas pun senyum terukir di bibir
yang pagi ini terlihat pecah-pecah. Waktu menunjukan pukul 07.15, sepertinya
aku akan terlambat. Aku pergi tanpa mandi dan bersiap diri setelah hampir tidak
tidur semalaman karena tugas yang harus aku kumpulkan hari ini.
Tak
kulihat sosok nenek itu lagi. Tidak seperti biasanya. Selama 3 tahun aku
disini, belum pernah aku tidak melihat nenek itu mengorek-ngorek sampah. Namun
hal itu tak aku pusingkan, cukup tugas-tugas ini yang membuat aku pusing.
Hari
ini, sungguh hari yang sangat melelahkan. Seluruh tubuhkan terasa pegal. Tidak
ada yang aku lakukan lagi selain, tidur.
***
Sudah
satu bulan aku tidak melihat nenek aneh itu lagi. Mungkinkah nenek itu tidak
terlihat lagi karena ia sadar aku sering memperhatikannya? Ah, tidak mungkin.
Mungkin saja ia pulang ke kampung karena kangen dengan cucu-cucunya.
Ku
lihat seorang pria paruh baya sedang mengorek-ngorek sampah di depan tempat kost
ku. “Mungkin bapak ini saudara nenek aneh itu. Coba ku tanyakan saja kemana
nenek aneh itu sekarang, gumamku.
“Maaf
pak, saya menggangu sebentar.”
“Iya
nduk, gak apa-apa. Ada apa ya?”
“Begini
pak, saya mau tanya, nenek yang biasa ngambil barang bekas di sini kemana ya?”
tanyaku kepada bapak tersebut sambil berharap mendapat informasi yang bisa
memakan rasa penasaranku ini.
“Oh,
Mbah Darsih?”
“Saya
juga kurang tahu namanya pak.”
“Setahu
saya, yang biasa ngambil barang bekas di sini sih Mbah Darsih. Dia sudah
meninggal setahun yang lalu nduk.” Jawab bapak itu dengan nada setengah
berbisik.
Hah?
Meninggal? Setahun lalu? Sepertinya bukan mbah Darsih yang aku maksud. Tidak
mungkin nenek itu meninggal satu tahun lalu, sedangkan aku baru satu bulan
tidak melihatnya.
“Ngomong-ngomong,
ada apa ya nduk, kok nanya tetang Mbah Darsih?” Tanya bapak itu kepadaku.
Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. “Oh, gak apa-apa pak” Jawabku sambil
tergesa-gesa sambil masuk ke dalam kamar kost ku.
Bapak
itu tambah membuat aku semakin penasaran. Kira-kira kemanakah nenek itu? Aku
terdiam merenung. Tiba-tiba terdengar suara, Duuaarrr!!
“Ayo,
ngelamunin apa itu? Habis diputusin pacar ya?” Suara lena mengagetkanku. Aku
hanya tersenyum, lalu masuk ke kamar kost ku. Lena mengikuti dari belakang dan
ikut masuk ke kamar ku juga. Lena adalah teman satu kost ku. Kamarnya di depan
kamar ku. Di sana kami sibuk membicarakan tentang tugas dan beberapa tingkah
laku dosen yang aneh. Sampai akhirnya aku dan Lena tertidur pulas.
***
Gadis
itu sangat cantik, tinggi, putih, bagaikan pragawati. Sepatu hak tinggi
berwarna hitam menutupi kakinya, sangat serasi dengan kemeja merah dan rok
hitam yang dipakainya.
Iya
berjalan berjalan berlenggak-lenggok. Semua mata tertuju padanya. Iya berjalan
menghampiri seorang nenek yang berbaju putih dengan rok hijau. Nenek itu, iya
nenek itu adalah nenek yang biasa mengorek-ngorek sampah. Syukurlah, ternyata
nenek tersebut masih hidup.
Nenek
itu terlihat sangat akrab dengan gadis cantik tadi. Sedikit ku dengar
bisikan-bisikan suara mereka berdua.
“Mbah,
Mbah Darsih, Raya berangkat dulu ya?”
“Iya
nduk, hati-hati ya! Belajar yang baik.”
Apa?
Mbah Darsih? Berarti benar yang dimaksud oleh bapak itu. Tapi, kenapa Mbah
Darsih dikatakan sudah meninggal ya? Sepertinya beliau sehat-sehat saja.
Sekejap,
cahaya hitam menutupi pandanganku, gelap, gelap sekali. Sampai akhirnya
terdapat cahaya. Aku berjalan menuju sumber cahaya terebut. Samar-samar kulihat
gadis itu lagi, ia keluar dari sebuah
mobil mewah berwarna biru.
Mobil
itu diparkir di garasi di dalam rumah yang sangat megah. Sepertinya bukan rumah
Mbah Darsih. Dari kejauhan, tampak seseorang berjalan menuju rumah tersebut
sambil berteriak, “Raya, Raya, kamu kemana saja nak? Mbah bingung nyariin kamu,
ini rumah siapa nak?”
Ya
Tuhan, ternyata dia adalah Mbah Darsih. Tetapi, kenapa Raya seperti tidak
mengenali Mbah Darsih?
“Nenek
siapa? Saya tidak kenal dengan nenek.” Tanya Raya dengan ketus.
“Ini
Mbah, Raya. Ini Mbah Darsih. Masa kamu lupa sama Mbah?” Jawab Mbah Darsih
bingung.
“Saya
tidak kenal kamu. Pergi kamu dari rumah saya, dasar orang tua dekil, bau!”
bentak Raya kepada Mbah Darsih. Kemudian Raya mendorong Mbah Darsih hingga
jatuh tergeletak, di aspal jalan depan rumah Raya. Dari kejauhan, nampak sebuah
truk berjalan dengan kecepatan tinggi menuju kearah Mbah Darsih. Astaga, ada
apa ini?
Mbah
darsih terlindas oleh truk tersebut, spontan aku berlarian menghampirinya. Aneh,
tubuhku tidak bisa digerakan. Aku sepertinya sedang berlari namun tidak
berlari. Tiba-tiba tubuh Mbah Darsih tergeletak tepat di kakiku. Aku terkejut,
aku takut, tak terasa air mataku menetes.
Mbah
Darsih kemudian menggenggam tanganku erat dan berkata, “Jangan pernah
sia-siakan orangtua mu, hargai mereka, hargai perjuangan dan pengorbanan mereka.”
“Iya
Mbah, saya pasti tidak akan menyianyiakan mereka.” Jawabku dengan suara
terbata-bata.
Seketika
tubuh Mbah Darsih berubah menjadi mengenaskan, darahnya berceceran, tubuhnya
gepeng terlindas truk. Semua itu tampak nyata, sangat nyata dan sangat
menyeramkan. Spontan aku pun berteriak, “TIDAAAAAK…….”
Teriakanku
membangunkan Lena yang sedang tidur di sampingku. Ia terkejut melihhatku
meronta ketakutan dengan mata masih terpejam. Segera Lena membangunkanku.
“Ris,
kamu kenapa Ris?’ Risa, sadar Ris! Sadar!” Kata Lena sambil menepuk-nepuk
pipiku. Aku tersadar, tak terasa air mataku menetes. Aku menatap ke arah Lena,
Lena tampak kebingungngan. Akupun merangkul tubuh Lena sambil menangis dengan
keras.
***
Kini
aku tersadar, Mbah Darsih tidak ingin aku menjadi seperti Raya, yang sombong
setelah mencapai kesuksesan. Aku belum mencapai kesuksesan saja sudah lupa
dengan orangtua. Sungguh, anak macam apa aku ini? Aku hanya bisa menuntut orang
tua ku untuk segera mengirim uang. Sedangkan aku tidak pernah mau tahu tentang
kabar mereka. Apakah mereka sehat, ataukah mereka sakit. Aku tidak pernah mau
tahu tentang masalah itu. Aku sangat menyesali sikapku yang seperti itu. Aku
bertekad, liburan semester ini aku akan mengunjungi mereka ke Bali. Ya, aku
harus meminta maaf kepada orang tua ku. Akupun terlelap dalam tidurku di malam
yang sunyi.