Dilarang meng-copas! Tolong hargai karya milik orang lain!Jika ingin copas cantumkan alamat blog ane!!!!
Hujan turun dengan derasnya dan angin
bertiup sangat kencang, seakan tidak ingin kalah dengan laju sepeda motorku.
Jika di hitung-hitung sudah empat kali aku melewati jalan ini, bolak-balik
seperti orang gila yang kesasar. Apa boleh buat, besok sudah mulai MOS jadi aku
harus temukan semua keperluan untuk mengikuti MOS.
Dari kejauhan aku melihat seseorang
yang mencoba berdiri namun kakinya tertindih motor. Sepertinya orang itu kepleset karena kondisi jalan yang
licin. Tidak ada orang yang menolongnya. Di siang hari seperti ini kondisi
jalan ini memang sepi, terlebih saat hujan deras seperti ini. Sebagai manusia
yang menyayangi sesama, tidak ada salahnya jika aku membantu orang tersebut. Ku
pelankan laju motorku, lalu ku hentikan di pinggir jalan dan segera menolong
orang tersebut. Dia seorang pemuda yang bisa dibilang lumayan tampan. Tanpa
basa-basi aku angkat motor pemuda tersebut dan membantu pemuda tersebut
berdiri. Kebetulan di dekat pemuda itu jatuh ada sebuah posko, jadi aku memahpah
pemuda itu dan membawanya berteduh di posko tersebut. Syukurlah pemuda itu
hanya lecet-lecet saja, tidak ada luka yang sangat parah.
“Hey, maaf bisa tolong ambilkan kotak
obat di jok motorku?” Pinta pemuda
itu kepadaku.
“Hah? Ohh.. ii..iya.. iya bisa.”
jawabku gugup.
Akupun segera mengambilkan kotak obat
yang di minta oleh pemuda tersebut. Otakku pun bertanya-tanya, “Orang ini sudah
tahu akan celaka kali ya, sampai-sampai nyiapin kotak obat segala. Kalau aku
sih mungkin akan nangis dan segera menelpon orang tuaku atau kakakku.” Aku
segera memberikan kotak obat itu kepada pemuda tersebut. Aku hanya diam melihat
pemuda itu mengobati lukanya. Ya, seharusnya aku yang mengobati, posisiku kan
sebagai penolong? Tapi, ya sudahlah.
“Nama kamu siapa?” tanya pemuda itu
kepadaku sembari mengobati lengannya yang terluka.
“Nama aku Jesika, tapi biasa dipanggil
Wia.” jawabku dengan penuh percaya diri.
“Hah? Bagaimana bisa dari Jesika jadi
Wia? Hahahaha lucu banget kamu.” Kata pemuda itu sambil berhenti mengobati lukanya,
mungkin karena kaget dengar namaku. Lalu pemuda itu melanjutkan mengobati
lukanya.
“Namaku Bisma, aku tadi baru pulang
latihan PMR di sekolahku, eh tahu-tahu malah jatuh di sini. Untungnya ada kamu
yang menolong aku.” Kata pemuda itu kepadaku.
“Oh pantesan.” gumamku.
“Pantesan kenapa?” tanya Bisma
kepadaku.
“Oh, eng..enggak kenapa-kenapa kok.
Lagian aku gak ada nanya kamu itu siapa.” Jawabku sambil memukul-mukul bibirku,
menyesal mengatakan hal seperti itu. Semoga Bisma tidak tersinggung.
“Issshh…. Jahat amat sih, akukan cuma
ingin memberi tahu saja. Hayooo.. pantesan kenapa?” tanya Bisma sambil
tersenyum meledek. “Hahahaha seharusnya kamu yang mengobati luka ku ini,
posisimukan sebagai penolong.” Tambahnya dengan tampang yang sangat meledek.
“Iii.. ii..iya aku juga maunya
mengobati lukamu itu tapi berhubung aku melihat kamu bisa mengobati sendiri
lukamu, jadi ya.. ya aku biarkan saja kamu mengobati lukamu sendiri.” Jawabku ngeles.
“Hahaha iya deh iya.” Jawab Bisma
mengalah.
“Kamu sekolah dimana, Bis?” tanyaku
kepada Bisma.
“Bis, bis, memangnya aku angkutan
umum? Panggil aku dengan sebutan Dede saja. Aku sekolah di SMA Pelangi.”
“Hahahahaha.. itu sih jauh lebih gak
nyambung namamu. Hmm kalau aku sekolah di SMA Pelita. Aku calon siswa baru.” Jawabku
dengan senyum semangat.
“Oh ya? Sayangnya aku tidak bertanya.”
Jawab Dede dengan wajah memelas, mengejek, dan menyebalkan.
“Issshh nyebelin deh.” Jawabku kesal.
“Hahahahahaha….”
Kami berdua terus mengobrol. Berbicara
dengannya seakan aku mendapatkan sebuah kebahagiaan. Dede orang yang sangat
lucu dan menyenangkan. Kami saling bertukar pengalaman. Dede menceritakan
tentang betapa hebatnya organisasi kepalang merahan yang ia ikuti. Namun, pada
saat itu aku tidak terlalu tertarik dengan organisasi tersebut karena menurutku
tidak ada hubungannya dengan cita-citaku. Hari itu aku sangat senang bisa
menolong dan berkenalan dengan Dede. Pertemuan pertama kami yang tidak akan
kulupakan sampai kapanpun. Jika aku dilahirkan kembali nanti, aku juga ingin dipertemukan
dengan Dede lagi dan dengan cara yang sama.
***
Hari-hari berlalu, tak terasa sudah
setahun semenjak pertemuan pertama kami, aku tidak pernah bertemu Dede lagi.
Saat pertemuan pertamaku dengannya aku lupa meminta nomor Hp-nya. Aku sangat
ingin bertemu dengannya lagi. Entah bagaimana caranya aku pun juga tidak tahu.
Sempat terbesit di kepalaku untuk mencari Dede ke sekolahnya namun, aku
berpikir lagi, jika aku bertemu dengannya, hal apa yang akan aku bicarakan
padanya. Hal tersebut pasti akan membuatku seperti orang bodoh di mata Dede.
Braaaaakkkk…kaing,
kaing, kaing, kaing…
Ya Tuhan apa ini? Aku merasa seperti
di banting, badanku tertindih motor dan kepalaku terasa pusing terbentur di
aspal jalan. Ya Tuhan, apakah ini benar terjadi pada diriku? Samar-samar aku
melihat orang-orang mengerumuni aku. Salah seorang dari mereka bertanya padaku
dengan wajah cemas, “Dik, adik sadar dik. Adik tidak apa-apakan?” Aku hanya
bisa mengangguk, bibirku terasa kaku untuk mengucapkan kata-kata, sampai
akhirnya semua terlihat gelap dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi.
Aku mulai membuka mataku perlahan dan
samar-samar aku melihat dua orang berseragam putih di sampingku. Aku pikir
mereka adalah malaikat yang akan menjemputku ke akhirat. Setelah lama aku
perhatikan ternyata kedua orang berbaju putih itu adalah Dokter Samsul dan
Dokter Adrian.
“Wi, Wia bangun Wi. Ini Dokter. Kamu
bisa mendengar suara aku kan?” tanya Dokter Adrian yang terus berusaha
menyadarkanku. Aku hanya bisa mengangguk yang berarti mengiyakan.
Keesokan paginya aku terbangun dengan
tubuh yang masih sangat lemas. Aku melihat Dede sedang berdiri di sampingku
dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
“Dede?” Aku berteriak kaget dan lagsung
memeluknya, aku tidak percaya akan bertemu dengannya lagi.
“Ihh meluk-meluk, kangen ya sama aku?
Jawab Dede meledek.
“Ihh apaan sih, enggak tuh.” Jawabku
dengan wajah yang memerah dan langsung melepaskan pelukanku.
“Ciee yang kecelakaan gara-gara
ngelamun terus nabrak anjing yang lagi nyebrang.” Kata Dede dan spontan
membuatku kaget, “Serius De? Masak sih? Yaampun memalukun banget.”
“Hahahahaha makanya kalau naik motor
itu jangan ngelamun.” Kata Dede sambil menertawai aku.
“Isshh! Kenapa kamu bisa ada di sini?
Kenapa kamu bisa tahu aku kecelakaan?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Hmm.. waktu itu aku lagi di jalan
pulang dari sekolah, kemudian aku melihat ada kecelakaan di jalan tersebut.
Waktu aku lihat ternyata kamu yang kecelakaan. Ya udah langsung aku tolong.
Syukur bagian tubuh kamu gak ada yang patah. Hanya saja pelipis kiri kamu
mengalami perdarahan yang bisa dikatakan lumayan berbahaya bagi keselamatan
kamu. Untungnya aku punya persediaan mitela atau pembalut segitiga di tas ku
jadi aku bisa langsung menutup luka di pelipismu dan meminimalkan perdarahan yang
terjadi sementara menunggu ambulance tiba. Aku mengikutimu ke rumah sakit untuk
memastikan keadaanmu baik-baik saja.”
“Hmm kata-katamu, tahu dah yang anak
PMR. Jangan bilang kamu dari kemarin nungguin aku di sini dan gak mandi?
“Ihh ge-er amat. Aku pulang dulu terus
tadi pagi ke sini lagi.” Jawab Dede sambil tertawa.
“Ya, kan siapa tahu.” Jawab ku dengan
nada sedikit lebih rendah, menahan malu.
“Eh kita jalan-jalan ke taman youk? Aku
sudah nyiapin kursi roda buat kamu.” Kata Dede.
“Hmm boleh.” Jawab ku dengan senyuman.
Dede memindahkan tubuhku dari ranjang
rumah sakit ke kursi roda. Diselipkan tangan kirinya di bawah pundakku dan
tangan kanannya dibawah lututku. Ku rebahkan kepalaku di bahunya yang bidang
dan tercium aroma parfum yang membuatku merasa nyaman. Diletakkan tubuh ku di
Kursi roda dengan sangat hati-hati. Dede mulai mendorong kursi roda itu dan
mengantarkanku ke taman rumah sakit. Kami melewati lorong-lorong rumah sakit,
melihat-lihat keadaan sekitar. Aku hafal semua wajah orang-orang di rumah sakit
ini. Mereka adalah teman-teman bagiku.
***
Flashback
Sore itu, sore ketika Dede menolongku
dari kecelakaan, Dokter Adrian menemui Dede. Kak Adrian hanya ingin mengucapkan
kata terimakasih kepada Dede karena telah menolongku. Dilihatnya Dede berdiri di
samping tempat tidur ku dan setia menunggu hingga aku tersadar.
“Dik, dik, kamu tidak pulang?” tanya
Kak Adrian kepada Dede.
“Hmm nanti aja dok, saya mau menemani
Wia.” Jawab Dede dengan mata yang masih tidak berpaling dari wajahku.
“Hmm terimakasih ya sudah menolong
Wia.” Kata kak Adrian kepada Dede.
“Iya dok, itu sudah menjadi kewajiban
saya sebagai anggota PMR.”
“Ohh, kamu anggota PMR toh. Hmm ya
sudah kamu pulang dulu, sudah malam nanti orang tuamu nyariin kamu lo!”
“Gak ah dok, saya mau menemani Wia,
saya ingin memastikan dia baik-baik saja.”
“Hmm kamu sebelumnya sudah pernah
kenal dengan Wia?”
“Iya dok, dia.. dia pacar saya.”
“Kamu pacarnya Wia? Kok Wia tidak
pernah cerita sama saya ya?”
“Memangnya dokter siapanya Wia?”
“Oh Wia belum cerita sama kamu ya?
Saya kakaknya Wia. Tolong jaga perasaannya Wia ya, jangan sampai dia merasa
sakit.”
“Ohh.. hmm itu pasti dok.”
“Apa Wia juga belum pernah cerita
kalau dia menderita penyakit leukimia? Penyakitnya sekarang sudah sangat parah
dan kami sedang mencari donor sumsum tulang belakang yang cocok untuk Wia.”
“Apa dok? Leukimia? Huh.. gak mungkin.
Wia kelihatan biasa saja tuh, dia tidak menunjukan kalau dia lagi sakit parah.”
Jawab Dede dengan air mata yang mulai menggenang di matanya. Dede seakan tak
percaya dengan apa yang terjadi padaku.
***
Aku dan Dede berhenti di sebuah meja
beton yang berada di sekitar taman. Di atas meja tersebut ada sebuah gitar yang
sepertinya memang sengaja Dede siapkan untuk menghiburku.
“Yapp, kita sudah sampai ni. Aku
sengaja naruh gitar ini di sini, aku mau nunjukin keahalianku main gitar ke
kamu Wi.” Kata Dede yang saat itu terlihat sangat gembira.
“Hmm, sombong kamu De.”
“Hehe. Kamu bisa main gitar?”
“Hm gak bisa. Memangnya kamu mau
ngajarin aku main gitar?”
“Hm boleh tapi kasih kesempatam buat
aku nyanyiin beberapa lagu buat kamu dulu ya?”
Aku hanya membalas dengan senyuman.
Dede menyayikan semua lagu-lagu bertemakan cinta, kasih sayang, dan kerinduan
kepadaku. Semua nada yang ia mainkan seakan membuatku merasa di terbangkan ke
angkasa.
………………………………….
Saat aku mencoba merubah segalanya
Saat aku meratapi kekalahanku
Aku ingin engkau selalu ada
Aku ingin engkau aku kenang
Saat aku meratapi kekalahanku
Aku ingin engkau selalu ada
Aku ingin engkau aku kenang
………………………………………..
“Aku tahu kamu sakit Wi, aku tahu
penyakit kamu itu parah dan aku tahu kamu berusaha menutupi itu semua dari
aku.” Kata Dede dengan nada suara yang sedikit bergetar.
“Iya aku kan memang sakit De. Aku
habis kecelakaan pasti masih sakitlah.” Jawabku tenang.
“Bukan itu maksudku. Aku tahu kamu
sakit leukimia kan?”
“Mak.. maksudmu? Siapa yang
memberitahumu?”
“Dokter Adrian. Dia kakakmu kan?”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Aku juga tidak mengerti mengapa Kak Adrian memberitahukan hal tersebut kepada
Dede. Air matakupun mulai menetes. Aku tidak ingin terlihat lemah di mata Dede.
Dan aku juga tidak ingin membuat orang yang aku sayangi akan pergi meninggalkan
aku karena dia tahu aku adalah gadis penyakitan.
Dede menggenggam kedua tanganku, lalu
salah satu tangannya mengusap air mataku yang mengalir di pipiku. Tangannya yang
lembut membelai rambutku. Tangannya bergetar menandakan betapa tidak karuannya
hati Dede saat itu. Aku hanya bisa berharap Dede masih mau berteman denganku.
“Kamu tenang saja Wi, kamu akan segera
mendapatkan donor sumsum tulang belakang. Kamu pasti akan selamat dari
penyakitmu dan kamu pasti akan hidup 1000tahun lagi. Aku yakin itu.Kamu juga
yakin kan?”
Aku hanya terdiam
“Kamu harus yakin Wi. Kamu harus
meyakinkanku bahwa kamu mampu hidup 1000 tahun lagi. Aku tidak ingin melihat
wanita yang aku cintai meninggal karena penyakit gila itu. Wi, aku hanya ingin
kamu tahu aku sangat mencintaimu, meskipun kamu tidak mencintaiku, aku hanya
minta kamu yakin kamu bisa hidup seribu tahun lagi, itu saja sudah cukup
membuatku merasa bahagia.”
Aku tidak tahu apa yang harus aku
lakukan. Aku hanya terdiam. Dede mulai berdiri dan mendorong kursi rodaku
menuju ruanganku. Dede merebahkan aku kembali di atas tempat tidurku dan
bergegas pergi untuk menutupi rasa sedihnya. Disaat Dede membuka pintu dan
hendak keluar, akhirnya kata-kata yang ingin aku ucapkan dapat ku ucapkan.“De,
tunggu! Aku juga mencintai kamu, aku menyayangimu dan aku berjanji aku akan
hidup seribu tahun lagi.” Dede berlari berbalik arah dan langsung memelukku
dengan sangat erat.
***
Sebulan sudah berlalu dari keadaanku
yang sangat menentukan hidup dan matiku. Operasi sumsum tulang belakang itu
berjalan lancar dan kini kondisi ku sudah mulai membaik. Namun yang aku
sayangkan, Dede tidak pernah menjengukku. Ternyata benar dia hanya
mempermainkan aku.
“Hey, gimana keadaanmu sudah lebih
baik kan?” tanya kak Adrian yang menyadarkanku dari lamunanku.
“Hmm iya kak.” Jawab ku tanpa ekspresi
sedikitpun.
“Ehem.. kakak bawain sesuatu ni buat
kamu, Dede yang memberikan.”
Aku melihat gitar yang Dede mainkan
saat hari terakhir aku melihatnya bermain gitar untukku. Aku juga melihat
sebuah buku panduan belajar bermain gitar. Dugaanku meleset. Ternyata Dede
masih perhatian denganku.
“Terus Dedenya mana kak?” tanyaku
penasaran kepada kak Adrian.
“Dede.. Dede sudah meninggal. Dia yang
mendonorkan sumsum tulang belakangnya untukmu. Dia bilang dia melakukan semua
itu karena dia yakin kamu memang pantas mendapatkan donor darinya.”
“Ta..tapi mendonorkan sumsum tulang
belakang sebanyak 2cc itu tidak mungkin sampai membuat orang meninggalkan kak?
Memang berbahaya tapi gak… tapi gak sampai seperti itu kak.” Aku menyela
perkataan kak Adrian.
“Saat esok hari setelah kamu
kecelakaan dia meminta kakak untuk melakukan tes pengujian apakah sumsum tulang
belakangnya cocok untuk kamu atau tidak. Ternyata hasilnya cocok dan dia
memutuskan untuk mendonorkan sumsum tulang belakangnya. Beberapa hari kemudian
kakak mendengar dia kecelakaan saat dia membeli buku belajar bermain gitar ini.
Dia di tabrak motor kemudian salah satu tulang rusuknya patah dan menusuk salah
satu organ tubuhnya. Dan dia terkena komplikasi setelah..setelah”
“Setelah apa kak?”
“Setelah dia mendonorkan sumsum tulang
belakangnya untukmu kamu.”
“Huh gak mungkin kak itu gak mungkin.
Kakak pasti bohong sama aku. Dede gak mungkin mati kak. Gak mungkin!”
Selain gitar dan buku gitar, Dede juga
memberikan buku tentang PMR kepadaku. Di dalam buku itu di selipkan sebuah
surat yang membuatku merasa tidak ada salahnya jika aku masuk ke dalam
organisasi tersebut.
Dear
Wia My last love
Aku
memberikan buku ini kepadamu karena aku ingin kamu bisa menolong dirimu sendiri
dan orang lain jika mengalami suatu musibah. Jika aku memberikan buku mengenai
medis dasar ini kepadamu, aku merasa lebih tenang untuk meninggalkanmu. Aku
yakin kamu pasti bisa menjaga dirimu baik-baik
dan hidup seribu tahun lagi sesuai janjimu kepadaku dulu. Kamu masih ingatkan bagaimana pertama kali
kita bertemu? Dulu saudara kembarku pernah mengalami hal yang sama sepertiku
juga, bedanya ia tidak ada yang menolong dan dipastikan meninggal di tempat aku
dan kamu pertamakali bertemu dulu. Ketahuilah Wia, itulah alasanku untuk ikut
ke dalam organisasi kepalang merahan ini. Aku tidak ingin orang lain dan aku
mengalami hal yang sama dengan saudara kembarku.
Dede(Bisma)
***
Kini setelah 6 tahun berlalu aku
berhasil mewujudkan mimpiku dan mimpi Dede. Aku tidak menjadi seorang arsitek.
Aku putuskan untuk menjadi seorang dokter yang mengabdi memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Aku kini juga mengabdi sebagai pelatih PMR di SMA pelangi.
Ternyata di PMR aku diajarkan banyak hal. Karena Dede aku jadi mengenal
organisasi kepalang merahan ini. Aku merasa sangat menyenangkan dapat bergabung
ke dalam organisasi yang di banggakan oleh Dede dan olehku juga kini. Di PMR
aku diajarkan kedisiplinan, kecekatan dan masih banyak lagi. Meskipun cita-cita
tidak menjurus ke hal-hal yang berbau medis, namun tidak ada salahnya kita ikut
PMR karena di bidang lain kecekatan dan kedisiplinan juga diperlukan.
Hari ini 14 februari tepat 6 tahun hari
kematian Dede. Dengan rasa bangga aku nyanyikan lagu ini untuknya diiringi oleh
gitar bolong pemberian darinya dan suara hujan yang turun sangat deras seperti
saat aku pertama kali bertemu dengannya.
Saat aku mencoba merubah segalanya
Saat aku meratapi kekalahanku
Aku ingin engkau selalu ada
Aku ingin engkau aku kenang
Saat aku meratapi kekalahanku
Aku ingin engkau selalu ada
Aku ingin engkau aku kenang
Selama aku masih bernafas
Masih sanggup berjalan
Ku kan slalu memujamu
Masih sanggup berjalan
Ku kan slalu memujamu
Meski ku tak tahu lagi
Engkau ada di mana
Dengarkan aku ku merindukanmu
Engkau ada di mana
Dengarkan aku ku merindukanmu
Karya : Dwi Pratiwi
No comments:
Post a Comment