Sunday, August 26, 2012

KINI AKU MENGERTI


Dilarang meng-copas! Tolong hargai karya milik orang lain!Jika ingin copas cantumkan alamat blog ane!!!!



Kaki tua itu tak henti-hentinya berayun. Kesana, kemari , seperti tak mengenal kata lelah. Tatapan mata itu seakan penuh harapan. Tangannya tak henti memungut satu demi satu kaleng bekas yang berserakan. Sesekali ia usap keringat yang mengalir menganak sungai di dahinya. Sungguh heran aku melihatnya. Jika aku jadi dia, tidak akan aku sanggupi pekerjaan itu. Hidup sebagai seorang mahasiswi jauh lebih menyenangkan meskipun banyak tugas yang harus dikerjakan.
Nenek pengumpul barang bekas itu sebenarnya tidak asing lagi di mataku. Setiap pagi aku melihatnya dengan asyik bergaul dan bergulat dengan sampah-sampah yang berserakan di sekitar tempat kost ku. Sampah-sampah yang bagi sebagian orang mungkin sudah tidak berguna lagi. Usaha nenek itu dalam menyambung hidup patut diacungi jempol. Setidaknya ia tidak semalas penadah tangan di lampu merah.
Kulangkahkan kakiku sembari sesekali mengarahkan pandanganku ke arah nenek itu. Hatiku penasaran dan selalu bertanya-tanya. Tidakkah ia mempunyai anak? Mengapa sudah setua itu harus bekerja keras seperti itu? Namun aku tidak mau pusing dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terlalu berpengaruh terhadap hidupku.
Ku lanjutkan perjalananku menuju kampus yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kostku. Kali ini aku percepat langkahku, aku baru menyadari kalau aku sudah terlambat.
***
Aku adalah seorang mahasiswi semester 6 di salah satu fakultas kedokteran di Surabaya. Di sini aku hidup serba berkecukupan. Jika aku perlu uang, aku tinggal telpon orang tuaku. Aku tidak pernah berpikir mencari pekerjaan sampingan untuk menambah uang jajanku. Menurutku, pekerjaanku sekarang hanyalah belajar dan bersenang-senang bersama teman-temanku.
Kedua orang tuaku bertempat tinggal di Bali. Mereka berdua berprofesi sebagai petani. Kekuatan finansial orang tuaku sebenarnya tidak cukup untuk menguliahkan aku. Biaya kuliahku di sini diperoleh dengan berhutang di salah satu bank di Bali. Entah bagaimana kedua orang tuaku melunasi hutang tersebut, tidak pernah terlintas di pikiranku untuk memikirkan hal itu.
Kehidupan sebagai anak kost sudah aku alami selama tiga tahun. Selama itupula aku tidak pernah balik ke Bali. Menanyakan kabar orang tuaku melalui telepon saja jarang kulakukan.
***
Keesokan harinya aku bangun lebih awal. Ku sambut pagi yang cerah dengan senyuman. Matahari masih menyembunyikan sinarnya di balik pepohonan. Aku segera bersiap berangkat ke kampus. Kulangkahkan kakiku dengan penuh semangat menuju kampus yang merupakan surga sekaligus neraka bagiku.
Lagi-lagi ku lihat nenek itu mengorek-ngorek sampah. Aku sangat jijik melihatnya. Baju nenek itu sangat kotor dan bau. Dengan sedikit keraguan aku mendekatinya, ku perhatikan tangannya yang lincah memilah-milah sampah yang ia butuhkan. Tiba-tiba nenek   itu menghentikan pekerjaannya lalu menoleh ke arahku. Tatapan matanya sangat tajam, seakan menusuk bola mataku. Matanya yang merah, membuatnya semakin terlihat aneh dan menyeramkan. Segera aku memalingkan pandanganku. Setengah melirik ke arah nenek aneh itu, ternyata nenek itu tersenyum kecil melihatku.
“Kamu masih kuliah?” Tanya nenek itu kepadaku.
“Iya mbah.” Jawabku sambil tersenyum.
“ Kamu asalnya darimana?” Tanya nenek itu kepadaku lagi.
“Jauh mbah, dari Bali mbah.”
“Belajar yang benar, nanti kalau sudah sukses jangan lupa sama orang tua, jangan ditelantarkan mereka.”
“maksudnya mbah?” Tanyaku karena sedikit bingung dengan kata-kata yang diucapkan nenek itu.
Nenek itu tidak menjawabku. Ia langsung mengalihkan pandangannya pada sampah-sampah yang ada di depannya. Tangannya melanjutkan pekerjaannya. Aku sedikit heran melihat tingkah aneh nenek itu. Aku segera berpamitan kepada nenek tersebut dan bergegas pergi meninggalkannya.
Aku berjalan menapaki jalan yang sudah mulai dipenuhi dengan daun busuk dan ranting-ranting yang berserakan. Begitulah keadaan jalan menuju kampusku. Wajahku masih kebingungan, aku tidak mengerti maksud dari kata-kata yang diucapkan nenek itu. “Ah sudah lupakan mungkin nenek itu sekedar basa-basi. Dasar orang tua aneh.”, gumamku.
***
Keesokan harinya kuawali hariku sama seperti biasa. Cuaca pagi ini juga sama seperti biasanya. Wajahku masih sangat kusut, tak seulas pun senyum terukir di bibir yang pagi ini terlihat pecah-pecah. Waktu menunjukan pukul 07.15, sepertinya aku akan terlambat. Aku pergi tanpa mandi dan bersiap diri setelah hampir tidak tidur semalaman karena tugas yang harus aku kumpulkan hari ini.
Tak kulihat sosok nenek itu lagi. Tidak seperti biasanya. Selama 3 tahun aku disini, belum pernah aku tidak melihat nenek itu mengorek-ngorek sampah. Namun hal itu tak aku pusingkan, cukup tugas-tugas ini yang membuat aku pusing.
Hari ini, sungguh hari yang sangat melelahkan. Seluruh tubuhkan terasa pegal. Tidak ada yang aku lakukan lagi selain, tidur.
***
Sudah satu bulan aku tidak melihat nenek aneh itu lagi. Mungkinkah nenek itu tidak terlihat lagi karena ia sadar aku sering memperhatikannya? Ah, tidak mungkin. Mungkin saja ia pulang ke kampung karena kangen dengan cucu-cucunya.
Ku lihat seorang pria paruh baya sedang mengorek-ngorek sampah di depan tempat kost ku. “Mungkin bapak ini saudara nenek aneh itu. Coba ku tanyakan saja kemana nenek aneh itu sekarang, gumamku.
“Maaf pak, saya menggangu sebentar.”
“Iya nduk, gak apa-apa. Ada apa ya?”
“Begini pak, saya mau tanya, nenek yang biasa ngambil barang bekas di sini kemana ya?” tanyaku kepada bapak tersebut sambil berharap mendapat informasi yang bisa memakan rasa penasaranku ini.
“Oh, Mbah Darsih?”
“Saya juga kurang tahu namanya pak.”
“Setahu saya, yang biasa ngambil barang bekas di sini sih Mbah Darsih. Dia sudah meninggal setahun yang lalu nduk.” Jawab bapak itu dengan nada setengah berbisik.
Hah? Meninggal? Setahun lalu? Sepertinya bukan mbah Darsih yang aku maksud. Tidak mungkin nenek itu meninggal satu tahun lalu, sedangkan aku baru satu bulan tidak melihatnya.
“Ngomong-ngomong, ada apa ya nduk, kok nanya tetang Mbah Darsih?” Tanya bapak itu kepadaku. Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. “Oh, gak apa-apa pak” Jawabku sambil tergesa-gesa sambil masuk ke dalam kamar kost ku.
Bapak itu tambah membuat aku semakin penasaran. Kira-kira kemanakah nenek itu? Aku terdiam merenung. Tiba-tiba terdengar suara, Duuaarrr!!
“Ayo, ngelamunin apa itu? Habis diputusin pacar ya?” Suara lena mengagetkanku. Aku hanya tersenyum, lalu masuk ke kamar kost ku. Lena mengikuti dari belakang dan ikut masuk ke kamar ku juga. Lena adalah teman satu kost ku. Kamarnya di depan kamar ku. Di sana kami sibuk membicarakan tentang tugas dan beberapa tingkah laku dosen yang aneh. Sampai akhirnya aku dan Lena tertidur pulas.
***
Gadis itu sangat cantik, tinggi, putih, bagaikan pragawati. Sepatu hak tinggi berwarna hitam menutupi kakinya, sangat serasi dengan kemeja merah dan rok hitam yang dipakainya.
Iya berjalan berjalan berlenggak-lenggok. Semua mata tertuju padanya. Iya berjalan menghampiri seorang nenek yang berbaju putih dengan rok hijau. Nenek itu, iya nenek itu adalah nenek yang biasa mengorek-ngorek sampah. Syukurlah, ternyata nenek tersebut masih hidup.
Nenek itu terlihat sangat akrab dengan gadis cantik tadi. Sedikit ku dengar bisikan-bisikan suara mereka berdua.
“Mbah, Mbah Darsih, Raya berangkat dulu ya?”
“Iya nduk, hati-hati ya! Belajar yang baik.”
Apa? Mbah Darsih? Berarti benar yang dimaksud oleh bapak itu. Tapi, kenapa Mbah Darsih dikatakan sudah meninggal ya? Sepertinya beliau sehat-sehat saja.
Sekejap, cahaya hitam menutupi pandanganku, gelap, gelap sekali. Sampai akhirnya terdapat cahaya. Aku berjalan menuju sumber cahaya terebut. Samar-samar kulihat gadis itu lagi,  ia keluar dari sebuah mobil mewah berwarna biru.
Mobil itu diparkir di garasi di dalam rumah yang sangat megah. Sepertinya bukan rumah Mbah Darsih. Dari kejauhan, tampak seseorang berjalan menuju rumah tersebut sambil berteriak, “Raya, Raya, kamu kemana saja nak? Mbah bingung nyariin kamu, ini rumah siapa nak?”
Ya Tuhan, ternyata dia adalah Mbah Darsih. Tetapi, kenapa Raya seperti tidak mengenali Mbah Darsih?
“Nenek siapa? Saya tidak kenal dengan nenek.” Tanya Raya dengan ketus.
“Ini Mbah, Raya. Ini Mbah Darsih. Masa kamu lupa sama Mbah?” Jawab Mbah Darsih bingung.
“Saya tidak kenal kamu. Pergi kamu dari rumah saya, dasar orang tua dekil, bau!” bentak Raya kepada Mbah Darsih. Kemudian Raya mendorong Mbah Darsih hingga jatuh tergeletak, di aspal jalan depan rumah Raya. Dari kejauhan, nampak sebuah truk berjalan dengan kecepatan tinggi menuju kearah Mbah Darsih. Astaga, ada apa ini?
Mbah darsih terlindas oleh truk tersebut, spontan aku berlarian menghampirinya. Aneh, tubuhku tidak bisa digerakan. Aku sepertinya sedang berlari namun tidak berlari. Tiba-tiba tubuh Mbah Darsih tergeletak tepat di kakiku. Aku terkejut, aku takut, tak terasa air mataku menetes.
Mbah Darsih kemudian menggenggam tanganku erat dan berkata, “Jangan pernah sia-siakan orangtua mu, hargai mereka, hargai perjuangan dan pengorbanan  mereka.”
“Iya Mbah, saya pasti tidak akan menyianyiakan mereka.” Jawabku dengan suara terbata-bata.
Seketika tubuh Mbah Darsih berubah menjadi mengenaskan, darahnya berceceran, tubuhnya gepeng terlindas truk. Semua itu tampak nyata, sangat nyata dan sangat menyeramkan. Spontan aku pun berteriak, “TIDAAAAAK…….”
Teriakanku membangunkan Lena yang sedang tidur di sampingku. Ia terkejut melihhatku meronta ketakutan dengan mata masih terpejam. Segera Lena membangunkanku.
“Ris, kamu kenapa Ris?’ Risa, sadar Ris! Sadar!” Kata Lena sambil menepuk-nepuk pipiku. Aku tersadar, tak terasa air mataku menetes. Aku menatap ke arah Lena, Lena tampak kebingungngan. Akupun merangkul tubuh Lena sambil menangis dengan keras.
***
Kini aku tersadar, Mbah Darsih tidak ingin aku menjadi seperti Raya, yang sombong setelah mencapai kesuksesan. Aku belum mencapai kesuksesan saja sudah lupa dengan orangtua. Sungguh, anak macam apa aku ini? Aku hanya bisa menuntut orang tua ku untuk segera mengirim uang. Sedangkan aku tidak pernah mau tahu tentang kabar mereka. Apakah mereka sehat, ataukah mereka sakit. Aku tidak pernah mau tahu tentang masalah itu. Aku sangat menyesali sikapku yang seperti itu. Aku bertekad, liburan semester ini aku akan mengunjungi mereka ke Bali. Ya, aku harus meminta maaf kepada orang tua ku. Akupun terlelap dalam tidurku di malam yang sunyi.



Contoh PKM-GT Lolos Dikti 2016 Toko Hijau : Upaya Meningkatkan Kembali Nilai Livable City Kota Denpasar

Berikut Link Dropbox PKM-GT tersebut pkmgt-dwipratiwi-tokohijau-lolosdikti PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM TOKO...