60 tahun sudah umurnya, namun masih saja orang tua renta itu berjualan. Mbah Darsih, begitulah orang sering memanggilnya. Panasnya matahari, dinginnya malam, derasnya hujan tak menyurutkan niatnya untuk berjualan. Itu semua Ia lakukan hanya untuk sesuap nasi. Dengan setia Ia menanti pembeli demi pembeli walau terkadang banyak pembeli yang cerewet mengeluhkan dagangan Mbah Darsih. Tidakkah mereka kasihan dengannya? Dimanakah anak-anak Mbah Darsih? Mengapa orang setua itu masih mencari nafkah, bukankah seharusnya Ia bersantai menikmati masa tuanya? Lirih hatiku melihatnya.
Tak lama kemudian datanglah seorang gadis perempuan berparas cantik, berambut panjang, membawa dua bungkus nasi. Ternyata Ia cucu Mbah Darsih. Gadis itu bernama Ayu. Gadis itu tampak senang lalu duduk di samping Mbah Darsih dan berkata, “Mbah ini nasinya. Harganya lima ribu satu bungkus. Ini uang kembaliannya.” Mbah Darsih tersenyum dan berkata, “Ndak usah nduk, kembaliannya buat kamu saja, buat uang saku untuk sekolah besok nduk. Belajar yang rajin ya nduk biar jadi orang sukses. Biar bisa beli mobil seperti orang-orang.” Ayu tersenyum dan meyakinkan neneknya, “Mbah gak usah khawatir, Ayu pasti rajin belajar Mbah.” Mereka berdua tersenyum saling bertatap-tatapan. Lalu Mbah Darsih memeluk Ayu dan berkata, “Ayu memang cucu yang paling baik di dunia ini.” Ayu hanya bisa tersenyum geli.
Malam pun tiba saatnya Ayu dan neneknya pulang untuk beristirahat setelah seharian berjualan kue. Dari tempat berjualan mereka berjalan kaki ke tempat peristirahatan mereka. Tempat dimana mereka terlindungi dan berbagi keluh kesah. Dengan wajah letih mereka berdua tetap berjalan dan terus berjalan hingga sampai di tempat peristirahatan mereka. Tempat itu dalah rumah. Ya, rumah! Rumah kecil yang tampak tak layak tinggal itulah rumah mereka. Meskipun kecil namun penuh kasih sayang di dalamnya.
Sesampainya di rumah Ayu langsung mandi dan belajar ditemani oleh neneknya. Dalam kegelapan, ditemani lampu sentir, itu lah hidup mereka disaat malam tiba.
“Kasihan kamu nduk, masih kecil sudah jadi yatim piatu. Tega sekali ibumu meninggalkan mu. Sedangkan ayahmu, manusia bejat itu memang pantas mati, tak ku sangka punya mantu pemakai narkoba seperti dia. Kamu jangan seperti kedua orang tua mu ya nduk! Kamu harus jadi orang yang tegar dan bertanggung jawab.” Kata Mbah Darsih kepada Ayu sambil menangis.
“Mbah gak usah khawatir. Ayu akan selalu ingat nasehat Mbah. Ayu janji.” Kata ayu sambil tersenyum.
“Ya sudahlah nduk, mbah mau pergi tidur dulu. Habis belajar langsung tidur nduk!” kata Mbah Darsih (bangun dari tempat duduknya dan pergi ke tempat tidur).
Entahlah apa memang sudah takdir atau hanya kesialan hidup belaka. Inginnya Mbah Darsih tidur sementara waktu namun tak disangka Tuhan berkehendak lain. Nenek tua itu meninggal di usia 60 tahun. Sungguh mengejutkan dan tak pernah terpikir oleh Ayu neneknya akan meninggalkannya. Ayu hanya bisa menangis dan menangis. Semua tetangganya sedih melihat keadaan Ayu, namun apa yang bisa mereka perbuat, mereka juga orang susah tak mapu membantu Ayu dengan maksimal.
Saat pemakaman neneknya Ayu tetap menangis. Ia mencoba untuk tegar namun Ia tak mampu. Sembari menaburkan bunga di makam neneknya Ia berkata, “Kenapa mbah meninggalkan Ayu sendirian ? Ayu ingin ikut sama mbah. Buat apa Ayu hidup sendirian disini mbah?” Saat itu ada wali kelas Ayu di sampingnya dan berkata, “Kamu tidak boleh bilang seperti itu Yuk! Mungkin ini memang sudah takdir dari yang kuasa. Ibu yakin kamu pasti bisa menghadapi cobaan ini.” Ayu terdiam sambil mengusap air matanya. Dalam hati Ia berkata , “Ini bukan akhir dari segalanya. Iya Ayu harus bisa mewujudkan impian Mbah supaya mbah senang di alam sana.” Lalu mereka berdua pergi meninggalkan makam Mbah Darsih.
Kini Ayu menyambung hidup dengan berjualan kue dan untuk biaya sekolah Ayu dari dulu mendapatkan bea siswa karena prestasi belajarnya yang membanggakan. Pagi hari Ia sekolah, siang hari Ia membuat kue, kemudian sore hingga malam Ia berjualan kue. Lalu kapankah Ia mendapatkan waktu untuk belajar? Sungguh anak yang pintar, pagi-pagi buta Ia bangun untuk belajar. Betapa beratnya hidup yang di hadapi oleh anak gadis berusia 15 tahun yang baru duduk di bangku kelas 3 SMP ini. Hati siapapun pasti menangis melihatnya.
Tak cukup hanya cobaan itu yang Ia hadapi. Kini Ia kehilangan tempat berjualannya dan tempat tinggalnya karena digusur. Akhirnya Ia pun berakhir di panti asuhan. Bukannya duka yang Ia dapatkan melainkan kebahagiaan karena mendapat tempat tinggal yang nyaman dan teman-teman baru yang sangat baik hati. Di sana Ia menemukan kehidupan barunya dan berusaha tidak lagi di bayangi oleh suramnya nasib yang Ia dapatkan.
Setelah lulus SMA Ayu memutuskan untuk pergi dari panti asuhan tersebut. Ia pun berpamitan dengan adik-adiknya di sana dan Ibu penjaga panti.
“Bu, terimakasih atas bantuan yang ibu berikan kepada saya. Tanpa bantuan ibu mungkin saya sudah mati kelaparan di jalanan. Sudah cukup banyak saya merepotkan ibu di sini, sekarang saya ingin meninggalkan panti asuhan ini.” Kata Ayu kepada ibu penjaga panti asuhan tersebut.
“Lalu kamu mau tinggal dimana nak? Kamu tidak pernah merepotkan ibu.” Sahut ibu penjga panti kepada Ayu.
“Saya akan ngekos bu. Saya juga akan kerja sambil kuliah di falkutas kebidanan. Sekali lagi terima kasih ya bu.”
“Baiklah nak, kamu boleh pergi kalau ada sesuatu yang kamu perlukan jangan ragu datanglah ke sini.”
“Iya bu saya mohon pamit dulu ya bu,”
Lalu Ayupun pergi meninggalkan panti asuhan tersebut. Dengan berbekal sedikit uang Ia pergi mencari tempat kos-kosan yang murah.
Hari demi hari Ia lalui dengan penuh semangat hingga kemudian ada seorang teman di kampus Ayu yang iri dengan prestasi Ayu, kemudian teman Ayu tersebut menjerumuskan Ayu ke dunia kenakalan remaja. Sex bebas, narkoba sudah menjadi sahabatnya saat ini. Semua perilakunya sudah jauh dari batas kewajaran. Sungguh tak pernah di sangka. Gadis lugu seperti Ayu harus terjerumus di dalam dunia kegelapan seperti itu. Kuliah yang hanya tinggal 2 semester Ia tinggalkan begitu saja.
Hingga kini Ayu merasakan akibat dari perbuatannya. Ia terkena penyakit yang mematikan. Penyakit AIDS, begitulah orang menyebutnya. Sungguh tak pernah Ia pikirkan ini semua. Ia sangat menyesal. Namun semua ini tidak membuat Ia menyerah. Dengan sisa hidupnya kini Ia memanfaatkan waktunya untuk berbuat yang lebih baik. Ia lanjutkan kuliahnya.
Setahun berlalu. Ayu tidak pernah memeriksakan keadaannya ke dokter selama setahun ini. Kini Ia ingin memeriksakan keadaannya. Sungguh keajaiban ternyata penyakit tersebut hilang dari tubuh Ayu. Ayu sadar mungkin dulu itu adalah teguran dari Tuhan.
Kini Ayu melanjutkan hidupnya dengan sangat bahagia hingga Ia mampu menyelesaikan kuliahnya dan berhasil menjadi bidan yang professional. Ia mampu membangun klinik bersalin dengan kerja keras yang Ia lakukan selama ini. Iapun mampu membeli mobil seperti yang diimpikan oleh neneknya. Tersenyum bangga Ia melihat mobil itu. Seorang pria mendekatinya. Rupanya itu adalah suami Ayu. Pria itu bernama Rizal. Rizal adalah seorang pengelola hotel yang terkenal. Ia pria yang baik dan sangat menyayangi Ayu. Sungguh beruntung Ayu mendapatkan pria seperti Rizal.
Suatu hari saat Ayu melayat ke makam neneknya. Tampak dari kejauhan seorang wanita bersama suaminya berada di makam Mbah Darsih. Wanita itu menangis di depan makam mbah Darsih. Ayu terkejut ternyata wanita itu adalah ibunya. Ayu tidak pernah lupa dengan wajah ibunya.
“ibu benarkah kamu ibuku? Sedang apa ibu di sini? Tanya Ayu penasaran.
Lalu wanita itu beranjak dari tempat duduknya dan memeluk Ayu sembari berkata, “Ayu maafkan Ibu”